Budaya Pamali Versus Kebebasan
pamali! Itulah salah
satu kata yang sering terlontar dari orang tua di tatar sunda bahkan
pulau Jawa dan Madura yang diucapkan kepada anak-anaknya untuk
menyampaikan larangan atas suatu ucapan, sikap atau tindakan yang
dianggap bertentangan dengan norma atau adat serta mitos yang diyakini
secara turun temurun. Sebagai contoh, di tatar sunda kita sering
mendengar orang tua yang melarang anak laki-laki makan tungir ayam (bagian ekor ayam yang mengandung lemak) yang konon bila makan tungir ayam akan”ditungirkeun”(dikalahkan/dikuasai
oleh istrinya) bila telah menikah. Selain contoh di atas, masih banyak
aktivitas yang dihukumi sebagai sesuatu yang “pamali”.
Kata “pamali”
merupakan salah satu ekspresi kebudayaan untuk menyampaikan suatu pesan
larangan terhadap sesuatu. Namun sejauh ini penulis belum menemukan
hasil penelitian yang mengungkapkan sejak kapan kata pamali ini ada dan
dikenal serta diyakini masyarakat. Karena pada perkembangannya, setelah
masuknya agama Islam kata pamali sering dijadikan sinonim dari kata
haram dalam pengertian sesuatu yang dilarang oleh agama yang kemudian
dianggap dosa jika dilakukan. Sehingga, hal-hal yang dikategorikan
pamali yang bersumber pada adat atau keyakinan leluhur yang tidak
bersumber pada agama sekalipun akan dianggap dan dikategorikan sebagai
dosa manakala telah diberikan stempel pamali.
Pamali dalam perspektif budaya
Budaya didefinisikan
oleh para ahli sebagai hasil cipta karya manusia dalam menunjang
eksistensinya hidup di dunia. Berdasarkan definisi ini terlihat
“kepentingan” dari sang pencipta agar mendapatkan sesuatu yang positif
atau keuntungan bagi diri atau kelompoknya. Demikian halnya dengan kata
pamali sebagai sebuah tradisi budaya lisan tidak akan terlepas dari
kepentingan dari orang-orang yang mengatakan pamali untuk suatu perkara.
Di kalangan santri
yang mengkaji bahasa arab, kata pamali sering dipelesetkan sebagai
gabungan dari dua kata; “fama” yang artinya perkara/barang ini dan “lii”
yang artinya untukku. Sehingga jika digabungkan pamali berarti perkara
atau barang ini untukku. Sebagai contoh dalam kasus larangan makan tungir ayam, jika ditafsirkan maka kurang lebih “kamu jangan makan tungir ayam karena tungir
ayam ini untukku”. Padahal menurut orang yang suka makan tungir, bagian
belakang ayam ini merupakan salah satu makanan paling enak yang berasal
dari tubuh seekor ayam karena mengandung banyak lemak.
Bila dipandang dari sejarah peradaban manusia dari jaman primitive sampai era
teknologi di mana manusia semakin kritis dan logis, bisa saja kita
berasumsi bahwa kata pamali sebagai tradisi budaya lisan dari para orang
tua untuk melarang anaknya tanpa harus menjelaskan kenapa sesuatu itu
dilarang. Hal ini terjadi karena pada umumnya masyarakat terdahulu
khususnya anak-anak akan patuh dan manut - tanpa mengejar dengan
pertanyaan kenapa - jika telah dikatakan pamali oleh orang tua maupun
orang yang dituakan (seperti para penguasa, kiai, tokoh, dsb) sehingga
dipersepsi dan dikategorikan sebagai dosa yang mengundang siksa Tuhan di
akhirat nanti.
Dari kedua asumsi di
atas, tetap terlihat “kepentingan” dari pengucap kata pamali dimana
kedua-duanya untuk memenuhi kebutuhan pribadinya baik yang bersifat
material seperti kasus tungir ayam maupun yang bersifat immaterial
seperti halnya kesulitan memberikan penjelasan atas suatu hal yang
dilarang yang kemudian mengambil jalan pintas dengan dikatakan sebagai
sesuatu yang pamali.
Pamali dan Kebebasan
Jika merujuk pada
pemaparan di atas, maka kata pamali merupakan alat legitimasi dari
orang-orang yang berada pada level atas untuk melakukan hegemoni
terhadap orang-orang yang berada di bawahnya. Hal ini sejalan dengan
pandangan Gramci yang mengkarakterisasikan hegemoni dalam istilah
“pengaruh kultural”, tidak hanya “kepemimpinan politik dalam sebuah
sistem aliansi”. Dengan demikian, kata pamali sebagai alat
untuk mengkrangkeng kebebasan dan hak-hak individu dalam
mengekspresikan dirinya sesuai dengan pemikiran dan keinginan
masing-masing.
Di sisi lain, jika
kita merujuk pada kajian agama (Islam), kebebasan merupakan salah satu
ajaran penting yang ditetapkan Tuhan kepada manusia. Di dalam Alquran
telah digariskan bahwa tidak ada paksaan dalam
beragama (QS. Albaqarah;256); dalam ayat lain ditegaskan untukmu agamamu
dan untukku agamaku (QS. Alkaafirun;6).
Dari
dua ayat ini terlihat jelas bahwa manusia bebas menentukan pilihan.
Secara ekstrim dapat dikatakan, manusia bebas menentukan jalan hidupnya
termasuk dalam hal beragama. Karena seandainya seluruh manusia memilih
untuk durhaka pun, Tuhan tidak akan pernah rugi atau mengurangi
keagungan dan kekuasaan-Nya.
Jika
Tuhan memberikan kebebasan yang begitu luas, kenapa sesama manusia
harus mengkrangkeng satu sama lain? Terlebih menggunakan simbol-simbol
adat yang dibalut agama. Padahal Imam Ali ra berkata: “Wahai
manusia, sesungguhnya kalian tidak terlahir sebagai budak ataupun
pelayan. Dan sesungguhnya manusia seluruhnya adalah bebas”.
Dengan demikian, kata
pamali nampaknya sudah tidak relevan lagi untuk melegitimasi kepentingan
pribadi dengan melarang dan membatasi mimpi, harapan, keinginan dan
pemikiran manusia yang terlahir sebagai makhluk yang merdeka. Namun
bukan berarti kata pamali harus dihapus dalam “kamus” kebudayaan
manusia. Kata pamali bisa digunakan untuk menyampaikan larangan atas
sesuatu yang merugikan manusia lainnya seperti pamali kebut-kebutan di
jalan raya, pamali merokok di tempat umum, dan pamali-pamali yang
lainnya.
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar