Senin, Januari 14, 2013

Budaya Pamali Versus Kebebasan

                                                     Budaya Pamali Versus Kebebasan
  pamali! Itulah salah satu kata yang sering terlontar dari orang tua di tatar sunda bahkan pulau Jawa dan Madura yang diucapkan kepada anak-anaknya untuk menyampaikan larangan atas suatu ucapan, sikap atau tindakan yang dianggap bertentangan dengan norma atau adat serta mitos yang diyakini secara turun temurun. Sebagai contoh, di tatar sunda kita sering mendengar orang tua yang melarang anak laki-laki makan tungir ayam (bagian ekor ayam yang mengandung lemak) yang konon bila makan tungir ayam akan”ditungirkeun”(dikalahkan/dikuasai oleh istrinya) bila telah menikah. Selain contoh di atas, masih banyak aktivitas yang dihukumi sebagai sesuatu yang “pamali”.
Kata “pamali” merupakan salah satu ekspresi kebudayaan untuk menyampaikan suatu pesan larangan terhadap sesuatu. Namun sejauh ini penulis belum menemukan hasil penelitian yang mengungkapkan sejak kapan kata pamali ini ada dan dikenal serta diyakini masyarakat. Karena pada perkembangannya, setelah masuknya agama Islam kata pamali sering dijadikan sinonim dari kata haram dalam pengertian sesuatu yang dilarang oleh agama yang kemudian dianggap dosa jika dilakukan. Sehingga, hal-hal yang dikategorikan pamali yang bersumber pada adat atau keyakinan leluhur yang tidak bersumber pada agama sekalipun akan dianggap dan dikategorikan sebagai dosa manakala telah diberikan stempel pamali.
Pamali dalam perspektif budaya
Budaya didefinisikan oleh para ahli sebagai hasil cipta karya manusia dalam menunjang eksistensinya hidup di dunia. Berdasarkan definisi ini terlihat “kepentingan” dari sang pencipta agar mendapatkan sesuatu yang positif atau keuntungan bagi diri atau kelompoknya. Demikian halnya dengan kata pamali sebagai sebuah tradisi budaya lisan tidak akan terlepas dari kepentingan dari orang-orang yang mengatakan pamali untuk suatu perkara.
Di kalangan santri yang mengkaji bahasa arab, kata pamali sering dipelesetkan sebagai gabungan dari dua kata; “fama” yang artinya perkara/barang ini dan “lii” yang artinya untukku. Sehingga jika digabungkan pamali berarti perkara atau barang ini untukku. Sebagai contoh dalam kasus larangan makan tungir ayam, jika ditafsirkan maka kurang lebih “kamu jangan makan tungir ayam karena tungir ayam ini untukku”. Padahal menurut orang yang suka makan tungir, bagian belakang ayam ini merupakan salah satu makanan paling enak yang berasal dari tubuh seekor ayam karena mengandung banyak lemak.
Bila dipandang dari sejarah peradaban manusia dari jaman primitive sampai era teknologi di mana manusia semakin kritis dan logis, bisa saja kita berasumsi bahwa kata pamali sebagai tradisi budaya lisan dari para orang tua untuk melarang anaknya tanpa harus menjelaskan kenapa sesuatu itu dilarang. Hal ini terjadi karena pada umumnya masyarakat terdahulu khususnya anak-anak akan patuh dan manut - tanpa mengejar dengan pertanyaan kenapa - jika telah dikatakan pamali oleh orang tua maupun orang yang dituakan (seperti para penguasa, kiai, tokoh, dsb) sehingga dipersepsi dan dikategorikan sebagai dosa yang mengundang siksa Tuhan di akhirat nanti.
Dari kedua asumsi di atas, tetap terlihat “kepentingan” dari pengucap kata pamali dimana kedua-duanya untuk memenuhi kebutuhan pribadinya baik yang bersifat material seperti kasus tungir ayam maupun yang bersifat immaterial seperti halnya kesulitan memberikan penjelasan atas suatu hal yang dilarang yang kemudian mengambil jalan pintas dengan dikatakan sebagai sesuatu yang pamali.
Pamali dan Kebebasan
Jika merujuk pada pemaparan di atas, maka kata pamali merupakan alat legitimasi dari orang-orang yang berada pada level atas untuk melakukan hegemoni terhadap orang-orang yang berada di bawahnya. Hal ini sejalan dengan pandangan Gramci yang mengkarakterisasikan hegemoni dalam istilah “pengaruh kultural”, tidak hanya “kepemimpinan politik dalam sebuah sistem aliansi”. Dengan demikian, kata pamali sebagai alat untuk mengkrangkeng kebebasan dan hak-hak individu dalam mengekspresikan dirinya sesuai dengan pemikiran dan keinginan masing-masing.
Di sisi lain, jika kita merujuk pada kajian agama (Islam), kebebasan merupakan salah satu ajaran penting yang ditetapkan Tuhan kepada manusia. Di dalam Alquran telah digariskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (QS. Albaqarah;256); dalam ayat lain ditegaskan untukmu agamamu dan untukku agamaku (QS. Alkaafirun;6).
Dari dua ayat ini terlihat jelas bahwa manusia bebas menentukan pilihan. Secara ekstrim dapat dikatakan, manusia bebas menentukan jalan hidupnya termasuk dalam hal beragama. Karena seandainya seluruh manusia memilih untuk durhaka pun, Tuhan tidak akan pernah rugi atau mengurangi keagungan dan kekuasaan-Nya.
Jika Tuhan memberikan kebebasan yang begitu luas, kenapa sesama manusia harus mengkrangkeng satu sama lain? Terlebih menggunakan simbol-simbol adat yang dibalut agama. Padahal Imam Ali ra berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya kalian tidak terlahir sebagai budak ataupun pelayan. Dan sesungguhnya manusia seluruhnya adalah bebas”.
Dengan demikian, kata pamali nampaknya sudah tidak relevan lagi untuk melegitimasi kepentingan pribadi dengan melarang dan membatasi mimpi, harapan, keinginan dan pemikiran manusia yang terlahir sebagai makhluk yang merdeka. Namun bukan berarti kata pamali harus dihapus dalam “kamus” kebudayaan manusia. Kata pamali bisa digunakan untuk menyampaikan larangan atas sesuatu yang merugikan manusia lainnya seperti pamali kebut-kebutan di jalan raya, pamali merokok di tempat umum, dan pamali-pamali yang lainnya.
Wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar